Jumat, 27 Desember 2019

Syair dalam Sintren


          
       Sintren adalah kesenian tari tradisional masyarakat pesisir utara pulau Jawa. Pada wilayah budaya suku Cirebon, kesenian ini terkenal antara lain diwilayah kabupaten Subang, kabupaten Indramayu, kabupaten dan kota Cirebon, kabupaten Majalengka, kabupaten Kuningan dan kabupaten Brebes, bagi sebagian kalangan, kesenian Sintren dikenal sebagai tarian dengan aroma mistis karena melibatkan pawang Sintren dan kemenyan yang identik dengan benda-benda ritual mistis.
         Asal mula nama sintren salah satunya berasal dari kata sindir (bahasa indonesia: sindir) dan tetaren (bahasa Indonesia: pertanyaan melalui syair-syair yang perlu dipikirkan jawabannya) maksudnya adalah menyindir dengan menggunakan sajak-sajak atau syair-syair, sementara di wilayah kabupaten Indramayu kesenian ini disebut sebagai lais (bahasa Indonesia: suci) yang kependekan dari nama aslinya yang bahasa Cirebon dialek Indramayu disebut sebagai wari lais (bahasa indonesia: air suci) yang dimaknai sebagai para pemuda dengan niat yang suci.
          Pada awalnya sebelum terbentuknya struktur sintren atau lais yang ada seperti sekarang ini yang berupa tarian dengan wanita ditengahnya. Dahulu awal mula kesenian ini dipercaya dimulai dengan aktivitas berkumpulnya para pemuda yang saling bercerita dan memberikan semangat satu sama lain terutama setelah kekalahan besar pada perang Besar Cirebon yang berakhir sekitar tahun 1818, dalam cerita lisan masyarakat Indramayu dikenal dengan sebutan nama Seca Brabti yang dipercaya sebagai abdi pangeran Diponegoro yang berhasil lolos dari tentara Belanda setelah kekalahan perang Diponegoro yang berakhir pada tahun 1830, dikatakan bahwa Seca Branti melarikan diri ke wilayah Indramayu disini dia bergaul dengan para pemuda dan suka membacakan sajak-sajak perjuangan. Pada usim panen tiba disaat para pemuda sedang banyak berkumpul, Seca Branti kemudian ikut bergabung dan menyanyikan sajak-sajak perjuangannya. Aktivitas memnyinykan sajak-sajak ini kemudian diketahui oleh para jajahn Belanda dan kemudian dilarang, Belanda hanya mengizinkan adanya sesuatu kegiatan yang diisi dengan pesta, wanita penghibur dan minuman keras. Kegiatan-kegiatan ini juga berusaha Belanda lakukan didalam keraton-keraton Cirebon sebelum berakhirnya perang Besar Cirebon, bahkan para prajurit Belanda yang berada di kota Cirebon senang dengan kegiatan mabuk-mabukan diiringi dengan para penari Tayub. Hal inilah yang kemudian melatar belakangi digunakannya penari wanita sebagai kedok (bahasa Indonesia: topeng) dalam pertunjukannya sementara fokus utamanya tetaplah syair-syair yang diucapkan oleh dalang sintren yang didengarkan oleh para pemuda yang mengelilinginya, berlatih untuk memupuk rasa perjuangan. Oleh karenanya pada tahap ini sebagian kalangan menterjemahkan sintren sebagai sinyo (bahasa Indonesia: pemuda) dan trennen (bahasa Indonesia: berlarih) yang artinya pemuda yang sedang berlatih.
          Pada tahap ini pla-pola sajak yang digunakan oleh para dalang sintren tidak berubah dari sajak-sajak tentang perjuangan, perbedaannya adalah digunakannya ronggeng buyung (penari wanita) pada pertunjukannya yang bertujuan mengelabui penjajah Belanda. Selain dan kisah perjuangan pemuda-pemuda Cirebon lewat syair-syair penyemangat dalam pagelaran sintren, kesenian sintren di Cirebon juga menampilkan lirik-lirik legenda romantisme antara Selasih dan Sulandono yang populer dikalangan masyarakat Suku Jawa, hal tersebut dikarenakan letak Cirebon yang berdekatan langsung dengan tanah budaya Jawa mengakibatkan tingginya interaksi sosial antara suku Cirebon dengan suku Jawa.
          Syair-syair yang mengiringi pagelaran sintren tidak terlepas dari latarbelakang atau kisah-kisah yang mengikutinya. Kisah romantis Sulasih dan Raden Sulandono misalnya, kisah romantis tersebut yang amat kental dalam pagelaran sintren di wilayah seperti di kabuapten Batang serta kabupaten Pekalongan tidak begitu terasa dalam pagelaran sintren di wilayah suku Cirebon walau dalam sebuh versi syair yang dilantunkan oleh sanggar tari Sekar Pandan, kesultanan Kacirebonan masih menyelipkan nama keduanya namun pada akhirnya isi tariannya tidak mengisahkan sama sekali tentang Selasih dan pangeran Sulandon, isi tarian dan penjelasannya justru bernuansa dakwah islam.
          Sintren seperti halnya kesenian Cirebon yang lainnya juga dipergunakan oleh para wali untuk menyebarkan dakwah islam dan mengajarkan nilai-nilai islam dalam kehidupan sehari-hari, pada pagelaran sintren diwilayah kabupaten Cirebon, penari sintren yang dalam keadaan tidak sadar dan kemudian menari, ketika dilemparkan uang dengan jumlah berapapun akan mengakibatkan penarinya jautuh dan tidak bisa berdiri sendiri sebelum didirikan oleh dalang sintren.

0 komentar:

Posting Komentar