Selasa, 31 Desember 2019

SINTREN DAN CERITA MISTIS NYA


Nama ‘Sintren’ dalam tarian ini berasal dari suku kata ‘Si’ yang berarti dia dan ‘tren’ yang merupakan suatu panggilan dari seorang ‘putri’. Tarian ini berasal dari Pulau Jawa khusus nya di Cirebon. Sintren (atau dikenal juga dengan Lais) kesenian tari tradisional andalan masyarakat Jawa, khusus nya di Cirebon, karena Cirebon sebagai pencipta tarian sintren. Kesenian ini pun terkenal di pesisir utara Jawa Barat dan Jawa Tengah, yang utama yaitu di Cirebon, lalu Indramayu, Majalengka, Jatibarang, Brebes, Pemalang, Tegal, Banyumas, Kuningan, Pekalongan. Kesenian sintren juga dikenal sebagai tarian dengan aroma mistis atau magis yang bersumber dari cerita cinta kasih Sulasih dengan Sulandono.

Tarian Sintren menggambarkan kesucian sang putri atau sang penari. Masyarakat Cirebon meyakini tarian ini tidak boleh di tampilkan atau dilakukan secara main-main. Seorang penari hanya boleh membawakan tarian sintren dalam keadaan suci dan bersih. Makanya, sebelum melakukan 
pementasan sang penari harus melakukan puasa terlebih dahulu dan menjaga agar tidak berbuat dosa.
Sintren di perankan oleh seorang gadis yang benar-benar masih suci, dibantu oleh seorang pawang dengan diiringi alat music gending 6 orang. Penari Sintren juga harus melakukan puasa terlebih dahulu sebelum melakukan pementasan, hal tersebut dilakukan agar benar-benar suci dan bersih. Hal ini pula bertujuan agar roh Dewi Lanjar memasuki tubuh sang penari nanti tidak kesulitan. Ketika alunan music bernuansa mistis tersebut mulai diminainkan, kemudian sang pawang mulai beraksi dengan membacakan doa-doa atau mantra. Penari sebelumnya menggunakan pakaian putih dan kacamata hitam dengan kondisi terikat oleh tali. Setelah itu pawang memasukannya ke dalam kurungan tertutup dan memberikan kostum khusus. Kostum ini hamper mirip dengan kostum yang di gunakan untuk wayang orang.

Setelah pawang setelah membacakan doa-doa atau mantra, kemudian dupa di putar-putarkan di atas kurungan dengan iringan music tetap berjankan dan di mainkan. Pada akhirnya, pawang membuka kurungan tersebut dan terlihat penari nya sudah terlepas dari tali yang mengikatnya dan sudah mengenakan kostum yang telah di sediakan oleh pawang tersebut. Hal ini menjadikan keunikan dalam tarian Sintren.


Setelah itu penari akan langsung menari tanpa ada nya komando sebelumnya. Dengan suatu gerakan tangan yang sederhana dan kaki yang dihentak-hentak kan pertanda pertunjukkan sudah di mulai. Jika secara tidak sengaja penari melakukan kontak langsung dengan laki-laki maka penari sintren akan langsung pingsan. Nanti nya, pawang akan memasukkan roh kembali ke tubuh sang penari tersebut agar berdiri lagi.

Syair-syair yang mengiringi pagelaran Sintren tidak terlepas dari latar belakang yang mengikutinya. Yaitu kisah romantis yang tidak disetujui itu yaitu antara Raden Sulandono dan Sulasih. Misalkan kisah kasih romantis antara keduanya tersebut amat kental dalam pegelaran Sintren di wilayah Suku Jawa seperti di Kabupaten Batang serta Kabupaten dan Kota Pekalongan tidak begitu terasa di pagerlaran Sintren di wilayah Suku Cirebon walau dalam versi syair yang dilantunkan oleh Sanggar Seni Sekar Pandan, Kesultanan Kacirebonan masih menyelipkan nama Raden Sulandono dan Sulasih, namun pada praktik nya isi tarian nya tidak mengisahkan sama sekali tentang Raden Sulandono dan Sulasih, isi tarian  nya dan penjelasan nya justru malah bernuansa dakwah Islam.

Turun-turun Sintren yang kurang lebih syair nya sebagai berikut:
Turun-turun Sintren, turune widodari
Nemu kembang neng ayunan, kembange wijaya endah
Bul-bul kemenyan, widodari kang sukmo, ono Sintren jejogetan
Podho temuruno neng sukmo, ono Sintren jejogetan
Podho sinuyudhan, podho lenggak-lenggok surake keprok rame-rame
Sing nonton podho mbalang lendang karo Sintrenne njaluk bayar sawerane sa lilane
Arti dalam bahasa Indonesia nya kurang lebih
Turun-turun nya Sintren, turun nya bidadari. Menemukan bunga di depan rumah, bunga nya bunga Wijaya indah. Semua turun ke jiwa, ada sintrren menari nari. Asap-asap kemenyan membumbung, bidadari yang merasuk ke jiwa, semua turun lah. Semua bekerja sama, semua menari bersama, tepuk tangan bersama dengan ramai sekali. Semua yang melihat melempar selendang kepada sang penari sintren, sintren nya minta di bayar se ikhlas nya.

Tarian Sintren ini sangat unik, karena banyak yang mengatakan gerakan nya di luar kesadaran akal sehat, di iringi lagu dan beberapa alat musik sederhana. Yaitu: buyung, lodong bamboo, kecrek (terbuat dari sapu lidi), dan hihid (kipas). Sekarang hihid di ganti dengan karet yang berbahan dari sandal, namun menggugah selera untuk terus menerus menari. Tua muda melihat nya mengikuti, serta penuh antusias mengikuti nya, semua mata tertuju pada gerakan yang melambangkan kesederhanaan.
Tahap pemulihan Sintren. Tahap pertama, penari Sintren dimasukkan ke dalam kurungan bersama pakaian biasa (pakaian sehari-hari). Tahap kedua, pawang membawa anglo berisi bakaran kemenyan mengelilingi kurungan sambil membaca mantra sampai dengan busana Sintren dikeluarkan. Tahap ketiga, kurungan di buka, penari Sintren sudah berpakaian biasa dalam keadaan tidak sadar. Selanjutnya pawang memegang kedua tangan penari Sintren dan meletakkan di atas asap kemenyan sambil membaca mantra sampai Sintren sadar kembali, pertunjukkan Sintren selesai.

Dahulu pertunjukan Sintren sering dilakukan oleh para juragan padi sesaat setelah panen, sebagai ungkapan rasa syukur atas keberhasilan pertanian nya atau pada musim kemarau untuk meminta hujan. Sintren juga digunakan sebagai media dakwah. Sintren seperti halnya kesenian Cirebon yang lainnya juga di pergunakan oleh para wali untuk dakwah Islam dan mengajarkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari, pada pagelaran Sintren di wilayah Kabupaten Cirebon, penari Sintren yang dalam keadaan tidak sadarkan diri dan kemudian menari, ketika di lemparkan uang dengan jumlah berapapun akan mengakibatkan atau membuat penari nya jatuh dan tidak bisa berdiri sendiri sebelum di dirikan oleh dalang sintren atau pawang sintren.

Sejarah kesenian Sintren yaitu Kesenian Sintren ini berasal dari kisah Sulandono sebagai putra Ki Bahurekso Bupati Kendal yang pertama hasil perkawinan nya Dewi Rantamsari yang di juluki Sewi Lanjar. Raden Sulandono memadu kasih dengan Sulasih seorang putri yang berasal dari Desa Kalisalak., namun hubungan asmara nya tersebut tidak mendapat restu dari Ki Bahurekso, akhirnya Raden Sulandono pergi jauh untuk bertapa, dan Sulasih memilih diri nya untuk menjadi seorang penari. Meskipun demikian pertemuan antara Raden Sulandono dan Sulasih masih tetap terus berlangsung melalui alam ghaib.

Pertemuan tersebut diatur oleh Dewi Rantamsari yang memasukkan roh bidadari ke dalam tubuh Sulasih, pada saat itu pula Raden Sulandono yang sedang bertapa dipanggil oleh roh ibu nya untuk menemui Sulasih dan setelah itu terjadilah pertemuan di antara Sulasih dan Raden Sulandono melalui alam ghaib. Sejak saat itulah setiap diadakan pertunjukan Sintren sang penari pasti dimasuki roh bidadari oleh seorang pawing nya, dengan catatan bahwa hal tersebut dilakukan apabila sang penari masih dalam keadaan benar-benar suci (masih perawan). Sintren juga mempunyai keunikan sendiri yaitu terlihat dari panggung alat-alat music nya yang terbuat dari tembikar atau gembyung dan kipas dari bambu yang ketika pada saat ditabuh dengan cara tertentu akan dan dapat menimbulkan suara yang khas.

0 komentar:

Posting Komentar