Minggu, 29 Desember 2019

SEJARAH TARI SINTREN CIREBON



Kehidupan rakyat pesisir selalu memiliki tradisi yang kuat dan mengakar. Pada hakikatnya, tradisi yang muncul berasal dari kepercayaan terhadap nenek moyang atau bisa juga bermula dari kebiasaan dan permainan rakyat yang kemudian menjadi budaya warisan leluhur. Salah satu tradisi rakyat yang kemudian warisan budaya leluhur ialah sintren.
Nama sintren dalam tarian ini berasal dari suku kata ‘si’ yang artinya dia, dan ‘tren’ artinya panggilan untuk seorang putri. Tari sintren cirebon adalah sebuah tradisi keraton yang di pertunjukkan apabila terdapat kunjungan dari tamu penting ataupun ada hari penting di daerah cirebon.
Sintren atau biasa dikenal lais adalah kesenian tari trandisional masyarakat jawa, khususnya di cirebon. Kesenian ini terkenal di pesisir utara jawa barat dan jawa tengah, antara lain di indramayu, cirebon, majalengka, jatibarang, brebes, pemalang, tegal, banyumas, kuningan, dan pekalongan. Kesenian sintren dikenal sebagai tarian yang memiliki aroma mistis dan magis di dalam gerakannya, salah satu alasannya karena tarian ini biasa di jadikan ritual khusus yang di gelar untuk memanggil roh atau dewa yang bersumber dari cerita cinta kasih sulasih dengan sulandono.
Sulandono merupakan putra dari Ki Bahurekso Bupati Kendal dari mataram dan Dewi Ratamsari yang biasa dijuluki Dewi Lancar. Dan suliasih merupakan gadis desa . Raden sulandono dan suliasih bertemu dan kemudian terlibatlah hubungan percintaan, tetapi asmara mereka tidak mendapat restu dari ayah raden sulandono yaitu Ki Bahurekso, karna tidak direstui oleh ayahnya raden sulandono memutuskan untuk pergi dari kediamannya dan bertapa lalu suliasih memilih untuk menjadi penari. Meskipun mereka terpisahkan oleh jarak tetapi pertemuan mereka masih tetap berlangsung melalui alam gaib.
Pertemuan keduanya di alam gaib ternyata masih ada campur tangan dari ibunda raden sulandono yaitu Dewi Rantamsari yang diam-diam merestui hubungan raden sulandono dengan sulasih tanpa sepengetahuan Ki Bahurekso. Dewi Rantamsari ternyata memasukkan roh bidadari ke tubuh suliasih, pada saat itu pula raden sulandono yang sedang bertapa di panggil oleh roh ibunya untuk menemui sulasih dan terjadilah pertemuan sepasang kekasih itu antara raden sulandono dan sulasih.
Sejak saat itulah setiap diadakan pertunjukan sintren, sang penari pasti dimasuki roh bidadari oleh pawangnya, dengan catatan bahwa hal tersebut dilakukan apabila sang penari masih dalam keadaan suci (perawan). Dibantu oleh pawang dengan diiringi gending 6 orang. Sintren juga memiliki keunikan tersendiri yaitu terlihat dari panggung alat-alat musik yang terbuat dari tembikar/ gembyung dan kipas dari bambu yang ketika di taruh dengan cara tertentu meninggalkan suara yang khas.
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh calon penari sintren, yaitu penari sintren harus masih lajang dan belum pernah tersentuh oleh laki-laki (masih perawan). Penari tersebut juga harus melakukan puasa terlebih dahulu sebelum pementasan agar benar-bener suci dan bersih. Hal ini bertujuan agar roh yang merasuki penari tidak kesulitan untuk merasuki tubuh si penari.
Dalam tari sintren memiliki beberapa unsur-unsur arti simbolnya masing-masing, penari sintren yaitu si gadis penari fokus sebagai pemain utamanya,  perlengkapan tarian seperti kurungan ayam besar, sesaji, tali dan kemenyan sebagai doa pemanggil roh bidadari, dan gerakan sebagai simbol roh bidadari yang telah masuk dalam tubuh gadis penari tersebut.
 Pakaian yang biasa digunakan oleh sintren biasanya menggunakan baju golek yaitu baju tanpa lengan yang biasa di pakai dalam tari golek. Untuk bagian bawah bawah memakai kain jarit dan celana cinde. Lalu, bagian kepala memakai jamang (hiasan untaian bunga melati di samping kanan dan kocer di bagian telinga). Asesories lainnya ialah sabuk, sampur (selendang), dan kaos kaki hitam atau putih serta kacamata hitam yang digunakan untuk menutupi mata, sebab penari selalu memejamkan matanya saat keadaan kesurupan atau tidak sadarkan diri.
Pertunjukan tarian sintren diawali dengan tangan dan tubuh gadis penari yang diikat oleh pawang dalam keadaan yang masih belum berdandan. Kemudian, para pawang memasukkan gadis itu ke kurungan ayam yang sudah di siapkan oleh para anggota tim tari sintren tersebut dalam keadaan terikat dan kurungan ayam tersebut di kelilingi oleh kain untuk menutupi gadis yang akan menjadi sintren itu. Pawang/dalang kemudian berjalan memuteri kurungan ayam tersebut sembari merapalkan mantra memanggil roh bidadari Dewi Lanjar. Dan ajaibnya, jika pemanggilan Dewi Lanjar berhasil, maka ketika kurungan dibuka, sang gadis tersebut sudah terlepas dari ikatan dan sudah berdandan cantik. Setelah itu, si gadis itu tampil dalam keadaan yang berbeda dari keadaan semula tangan yang sudah terlepas dari ikatan tali, penampilannya sudah berdandan cantik dengan menggunakan kacamata hitam, lalu menari diiringi oleh gending/ musik khas tarian sintren. Gadis penari itu siap menari tanpa kendali atau dia menari dalam keadaan kesurupan/ tidak sadarkan diri. Penari sintren akan terjatuh ketika di lemparkan uang oleh penonton dan ketika penari terjatuh akan ditangkap oleh para pawang dan membacakan mantra lagi lalu si penari kembali menari. Makna filosofi penari terjatuh karena di lempari uang itu karena manusia semakin banyak uang cenderung lupa diri dan dari situ bisa menjadi pangkal atau alasan kejatuhan karir nya.
Biasanya pementasan tari sintren ini akan dilaksanakan pada malam hari pada saat bulan purnama. Hal ini berhubungan dengan roh halus yang masuk ke dalam tubuh penari tersebut. Namun seiring perkembangan zaman, kini tari sintren dapat dilakukan kapanpun untuk tujuan menghibur wisatawan. Tari sintren ini juga sering dipentaskan pada acara tertentu seperti acara pernikahan, khitanan, dan hajatan.
Sebelum menari, ada empat bagian ritual yang harus di laksanakan. Ritual pertama yang dilakukan adalah ritual Dupan yaitu pelaksanan doa bersama untuk mendapatkan keselamatan dan agar terlindung dari marabahaya selama pertunjukan berlangsung. Seorang pawang yang menyiapakan gadis sebagai penari sintren lainnya sebagai dayang disebut paripurna. Empat pemain perdampingan lainnya merupakan bagian tugas dari seorang dayang.
Lalu pada saat penonton melemparkan uang/ benda ke arah penari sintren itu disebut balangan. Biasanya penari ketika dilemparkan uang dia akan pingsan di tengah-tengah gerakan dan melanjutkan kembali saat pawang membacakan matra. Lalu gerakan terakhir adalah temohan dimana gadis penari itu akan mendatangi penonton sambil membawa nampan dan meminta penonton untuk memberikan uang seikhlasnya sebagai ucapan terimakasih atas pertunjukan yang telah di pertunjukkan oleh para kelompok tarian sintren.
Perkembangannya pun sudah mulai hilang seiring berjalannya waktu. Tari sintren sudah sangat jarang di tampilkan bahkan di daerah aslinya. Oleh karena itu kita sebagai generasi penerus bangsa harus menjaganya dan melestarikannya tarian yang ada di indonesia, karena tarian merupakan salah satu warisan budaya negara indonesia.


0 komentar:

Posting Komentar