Sintren adalah tarian yang
terkenal di wilayah Cirebon dan sekitarnya. Biasanya ditampilkan dalam perayaan
khusus di masyarakat atau momen-momen tertentu di Keraton. Konon sintren
merupakan kesenian rakyat yang di dalamnya mengandung unsur magis. Hal ini dapat
dilihat dari adegan pemanggilan roh bidadari yang dilakukan oleh pawang untuk
merasuk ke dalam tubuh penari sintren. Sintren adalah sebutan untuk peran utama
bagi penari Sintren, akhirnya sebutan itu menjadi salah satu nama jenis
kesenian, yaitu Sintren.
Menurut Mamad Nurahmad selaku budayawan Sintren, seni
tari ini tercipta dari kondisi masyarakat pesisiran. Menurut Warta, selaku
anggota seni Sintren, ada beberapa persepsi mengenai Sintren. Sintren berasal
dari kata Sasantrian yang artinya meniru santri ketika bermain Lais,
Debus, Rudat yang memakai magic (ilmu Ghaib). Ada juga yang mengartikan sintren
asal kata dari Sinatria, yaitu meniru Satria yang baik dari pakaian
maupun gerak-geriknya. Ada juga yang mengatakan Sintren berasal dari kata si
intrian, yang berarti bidadari perempuan karena tarian Sintren dengan
selendangnya menyerupai bidadari.
Secara teknis, pertunjukan ini
dimulai dengan seorang perempuan (penari Sintren) yang memakai baju biasa,
diikat tubuhnya, lalu dimasukan kedalam kurungan ayam. Melalui iringan musik
Sinden dan gamelan, perempuan tersebut keluar dari kurungan tersebut dalam
keadaan lepas ikatan, memakai kostum dan matanya tertutup kain hitam. Namun
seiring perkembangan zaman, penari sintren kini memakai kacamata hitam. Kemudian
sambil menari, sang sintren akan disawer (dilempari) dengan uang oleh
penonton. Saat uang saweran mengenai tubuhnya, ia akan terjatuh
pingsan, kemudian sang pawang akan menghampiri untuk menyembuhkannya. Kemudian
pertunjukan berakhir ketika sang penari Sintren masuk kembali pada kurungan
tersebut. Lalu Sang Penari sintren keluar dari kurungan memakai baju biasa
tanpa kostum dan kacamata hitamnya.
Dugaan bahwa pertunjukan
mengandung unsur magis dan syirik dilatarbelakangi oleh ketidaktahuan atas
makna filosofis dari pertunjukan tarian Sintren. Bapak Nuramad dan Warta selaku
budayawan dan pemain sintren pernah membantahnya. Mereka menjelaskan bahwa
Tarian Sintren pada awalnya adalah dakwah Islam melalui Seni budaya. Makna
filosofis yang hendak disampaikan bahwa Tarian Sintren merupakan penerjemahan
dari ajaran Islam tentang awal penciptaan Manusia.
Pada awalnya penari Sintren
tidak memakai kostum adalah tanda tentang awal kelahiran manusia yang bersih,
suci dan fitrah. Saat penari diikat, bermakna ikatan sosial yang berada di
dunia, bahwa setiap manusia diikat oleh aturan-aturan norma masyarakat. Saat
dimasukan pertama kali kedalam kurungan bermakna kehidupan manusia di dalam
rahim. Kemudian ketika penari Sintren keluar dan menari memakai kostum adalah
tanda kemewahan dunia. Kostum yang dipenuhi pernak-pernik menyerupai kehidupan
duniawi yang gemerlap.
Ketika memakai kacamata hitam
adalah tanda kehidupan dunia ‘membutakan’ manusia. Ketika penari sintren jatuh
pingsan pada saat dilempari uang bermakna bahwa kekayaan (uang) bisa seketika
membuat manusia terjatuh dan hancur. Ketika dikurung kembali setelah pingsan
adalah tanda bahwa manusia akan kembali menjadi bagian makrokosmos.
Bahwa manusia merupakan dari bagian jagat raya ciptaan Allah Swt. Saat
pertunjukan berakhir, penari sintren keluar dari kurungan tanpa memakai kostum,
bermakna bahwa manusia akan kembali pada keadaan semula seperti selembar kain
putih yang dipakai ketika dikuburkan. Sehingga segala kemewahan (kostum)
bersifat sementara. Cara dakwah yang cukup rumit ini merupakan kolaborasi
antara kreasi, kekuatan intelektual, pemahaman budaya yang mendalam serta
penelusuran aspek religiusitas Islam yang dijalankan oleh para Wali Songo
ketika berdakwah atau melakukan Syiar Islam.
Tentu sangat sulit membayangkan
bagaimana caranya melakukan dakwah kepada masyarakat Pesisir Jawa yang penuh
ritual mistis tanpa melakukan kreasi demikian. Hal ini menandakan betapa
cerdasnya para pendakwah Islam di Nusantara 500 tahun yang lalu. Mengkreasikan
dakwah Islam menjadi suatu ajaran yang luas, tanpa harus mempersempitnya.
semua elemen yang ada pada
kesenian sintren, sebenarnya hanya sebuah simbol belaka. Masyarakat kata dia,
boleh saja menafsirkan sendiri simbol-simbol tersebut. "Kesenian itu kan
bersifat netral, tergantung orangnya menafsirkan untuk kebutuhan apa,"
ujarnya. Sejarah kesenian sintren sendiri menurut Bambang masih menyisakan
misteri. Sebab, jika berbicara tentang sejarah, maka setidaknya harus ada
sesuatu yang membuktikannya, baik itu berupa catatan atau benda-benda
peninggalan di zaman itu. Menurutnya, sintren pada awalnya, merupakan sarana
hiburan bagi masyarakat nelayan yang ada di pesisir Subang hingga Jepara.
"Sintren berjalan begitu saja.
Awalnya hanya sebagai sarana
hiburan bagi masyarakat nelayan yang ada di pesisir Subang hingga Jepara,"
tutur Bambang. Lantas, bagaimana agama Islam memaknai kesenian sintren ini?.
Ulama sekaligus pimpinan Pondok Pesantren (Ponpes) Buntet Cirebon, KH Adib
Roffiudin menjelaskan, secara syariat, kesenian sintren sejatinya tidak
melanggar. Sebab, seni tari itu hanya menjadi sarana hiburan masyarakat semata.
"Secara adat sintren ini tidak melanggar syariat, karena hanya menjadi
tanggapan (hiburan) masyarakat," kata Kiai Adib.
0 komentar:
Posting Komentar