Selasa, 24 Desember 2019

TARI SINTREN





Tari adalah gerak tubuh yang secara berirama senada dengan alunan music yang dilakukan di tempat dan waktu tertentu untuk keperluan pergaulan,mengungkapkan perasaan, maksud, dan pikiran. Tari juga diiringi oleh bunyi-bunyian. Bunyi-bunyian yang disebut music pengiring tari mengatur suatu gerakan penari dan memperkuat maksud yang ingin disampaikan dari tarian tersebut. Gerakan tari berbeda dari gerakan sehari-hari seperti berlari, berjalan, atau bersenam. Menurut jenisnya, tari digolongkan menjadi tari rakyat, tari klasik, dan tari kreasi baru.

Nama ‘Sintren’ dalam tarian ini berasal dari suku kata ‘Si’ yang berarti dia dan ‘tren’ yang merupakan suatu panggilan dari seorang ‘putri’. Tarian ini berasal dari Pulau Jawa khusus nya di Cirebon. Sintren (atau dikenal juga dengan Lais) kesenian tari tradisional andalan masyarakat Jawa, khusus nya di Cirebon, karena Cirebon sebagai pencipta tarian sintren. Kesenian ini pun terkenal di pesisir utara Jawa Barat dan Jawa Tengah, yang utama yaitu di Cirebon, lalu Indramayu, Majalengka, Jatibarang, Brebes, Pemalang, Tegal, Banyumas, Kuningan, Pekalongan. Kesenian sintren juga dikenal sebagai tarian dengan aroma mistis atau magis yang bersumber dari cerita cinta kasih Sulasih dengan Sulandono.

Kesenian Sintren ini berasal dari  kisah Sulandono sebagai putra Ki Bahurekso Bupati Kendal yang pertama hasil perkawinan nya Dewi Rantamsari yang di juluki Sewi Lanjar. Raden Sulandono memadu kasih dengan Sulasih seorang putri yang berasal dari Desa Kalisalak., namun hubungan asmara nya tersebut tidak mendapat restu dari Ki Bahurekso, akhirnya Raden Sulandono pergi jauh untuk bertapa, dan Sulasih memilih diri nya untuk menjadi seorang penari. Meskipun demikian pertemuan antara Raden Sulandono dan Sulasih masih tetap terus berlangsung melalui alam ghaib.

Pertemuan tersebut diatur oleh Dewi Rantamsari yang memasukkan roh bidadari ke dalam tubuh Sulasih, pada saat itu pula Raden Sulandono yang sedang bertapa dipanggil oleh roh ibu nya untuk menemui Sulasih dan setelah itu terjadilah pertemuan di antara Sulasih dan Raden Sulandono melalui alam ghaib. Sejak saat itulah setiap diadakan pertunjukan Sintren sang penari pasti dimasuki roh bidadari oleh seorang pawing nya, dengan catatan bahwa hal tersebut dilakukan apabila sang penari masih dalam keadaan benar-benar suci (masih perawan). Sintren juga mempunyai keunikan sendiri yaitu terlihat dari panggung alat-alat music nya yang terbuat dari tembikar atau gembyung dan kipas dari bambu yang ketika pada saat ditabuh dengan cara tertentu akan dan dapat menimbulkan suara yang khas.

Sintren di perankan oleh seorang gadis yang benar-benar masih suci, dibantu oleh seorang pawang dengan diiringi alat music gending 6 orang. Penari Sintren juga harus melakukan puasa terlebih dahulu sebelum melakukan pementasan, hal tersebut dilakukan agar benar-benar suci dan bersih. Hal ini pula bertujuan agar roh Dewi Lanjar memasuki tubuh sang penari nanti tidak kesulitan. Ketika alunan music bernuansa mistis tersebut mulai diminainkan, kemudian sang pawang mulai beraksi dengan membacakan doa-doa atau mantra. Penari sebelumnya menggunakan pakaian putih dan kacamata hitam dengan kondisi terikat oleh tali. Setelah itu pawang memasukannya ke dalam kurungan tertutup dan memberikan kostum khusus. Kostum ini hamper mirip dengan kostum yang di gunakan untuk wayang orang.

Setelah pawang setelah membacakan doa-doa atau mantra, kemudian dupa di putar-putarkan di atas kurungan dengan iringan music tetap berjankan dan di mainkan. Pada akhirnya, pawang membuka kurungan tersebut dan terlihat penari nya sudah terlepas dari tali yang mengikatnya dan sudah mengenakan kostum yang telah di sediakan oleh pawang tersebut. Hal ini menjadikan keunikan dalam tarian Sintren.

Setelah itu penari akan langsung menari tanpa ada nya komando sebelumnya. Dengan suatu gerakan tangan yang sederhana dan kaki yang dihentak-hentak kan pertanda pertunjukkan sudah di mulai. Jika secara tidak sengaja penari melakukan kontak langsung dengan laki-laki maka penari sintren akan langsung pingsan. Nanti nya, pawang akan memasukkan roh kembali ke tubuh sang penari tersebut agar berdiri lagi.

Sintren juga digunakan sebagai media dakwah. Sintren seperti halnya kesenian Cirebon yang lainnya juga di pergunakan oleh para wali untuk dakwah Islam dan mengajarkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari, pada pagelaran Sintren di wilayah Kabupaten Cirebon, penari Sintren yang dalam keadaan tidak sadarkan diri dan kemudian menari, ketika di lemparkan uang dengan jumlah berapapun akan mengakibatkan atau membuat penari nya jatuh dan tidak bisa berdiri sendiri sebelum di dirikan oleh dalang sintren atau pawang sintren. Menurut dalang Sintren dari Sanggar Seni Sekar Pandan, Kesultanan Kacirebonan, nilai-nilai dakwah Islam yang dibawa oleh pagelaran Sintren adalah;

1.   Ranggap (Kurungan Ayam), bentuk kurungan ayam yang melengkung mengingatkan pada manusia yang menyaksikan bahwa bentuk melengkung itulah suatu wujud bentuk dari fase hidup manusia dimana manusia berasal dari bawah akan terus berusaha menuju ke puncak, namun setelah manusia sudah berada di puncaknya manusia akan kembali lagi ke bawah. Dari tanah akan kembali lagi menjadi tanah, dilahirkan dalam keadaan lemah akan kembali pula pada keadaan yang lemah.

2.  Duit (uang), uang yang dilemparkan ke bagian tubuh penari sintren akan membuat penari sintren langsung jatuh lemas. Yaitu bermakna di dalam kehidupan manusia bahwa jangan selalu mendahulukan duniawi, terlalu serakah tentang urusan duniawi akan membuat manusia jatuh tak berdaya.
Syair-syair yang mengiringi pagelaran Sintren tidak terlepas dari latar belakang yang mengikutinya. Yaitu kisah romantis yang tidak disetujui itu yaitu antara Raden Sulandono dan Sulasih. Misalkan kisah kasih romantis antara keduanya tersebut amat kental dalam pegelaran Sintren di wilayah Suku Jawa seperti di Kabupaten Batang serta Kabupaten dan Kota Pekalongan tidak begitu terasa di pagerlaran Sintren di wilayah Suku Cirebon walau dalam versi syair yang dilantunkan oleh Sanggar Seni Sekar Pandan, Kesultanan Kacirebonan masih menyelipkan nama Raden Sulandono dan Sulasih, namun pada praktik nya isi tarian nya tidak mengisahkan sama sekali tentang Raden Sulandono dan Sulasih, isi tarian  nya dan penjelasan nya justru malah bernuansa dakwah Islam.
Pada masa lalu alat musik yang mengiringin jalan nya suatu pagelaran Sintren merupakan jenis-jenis alat musik yang cukup terbilang sangat sederhana, yaitu;
1.   Buyung, alat musik semacam gendang yang terbuat dari tanah liat dengan ditutup lembaran kertas diatas nya. Penggunaan alat musik buyung inilah yang melatarbelakangi sebagian penari Sintren pada masa lalu disebut sebagai ronggeng buyung atau ronggeng yang diiringi oleh alat musik buyung.
2. Tutukan, alat musik yang terbuat dari bambu yang panjang dan besar yang pada masa sekarang di samakan fungsi nya dengan alat musik bas.
3. Bumbung, alat musik yang terbuat dari ruas-ruas bamboo yang berukuran kecil yang pada masa sekarang di samakan fungsinya dengan gitar melodi atau sejenisnya.
4.  Kendi, alat musik yang terbuat dari tanah liat yang berfungsi sama dengan gong.
5.  Kecrek, alat musik yang berfungsi sebagai pengatur ritme nada.
Struktur pagelaran kesenian Sintren yang ada wilayah Kabupaten dan Kota Cirebon berusaha untuk memperlihatkan simbol-simbol pengajaran Islam kepada masyarakat dengan cara seksama pada setiap pertujukkannya.

0 komentar:

Posting Komentar